( Surat ini baru saja aku terima dari sahabatku bersama dengan kartu Lebaran dengan edit tanpa mengurangi makna )
Sahabat, pertemuan kita kemarin seperti angin laut yang mengikis habis pasir pasir yang menempel menutupi wajahku. Sekian lama aku terbenam dalam pasir, hanya melihat sambil kusembunyikan wajahku. Aku merasa sedih dan takut sampai kau datang menemuiku. Aku masih ingat ketika kita sama – sama bermain ‘gobak sodor’ di sekolah, menarik kereta api dari pelepah pisang di jalan kota yang diteduhi pohon – pohon kenari. Aku tetap tinggal di kota kita dan menjadi saksi bisu akan perubahan – perubahan disekelilingku. Tapi hidupku tidak berubah.
Seperti sudah kukatakan padamu, aku merasa menjadi orang yang kalah. Aku hidup bersama istri dan dua anakku. Cintaku kepada mereka sangat dalam. Cinta yang aku berikan telah melebihi harapanku. Apakah itu cukup ? Sering menghantuiku aku tidak sanggup membesarkan mereka seperti cita – citaku dulu. Aku hanya bisa menghidupi mereka seadanya. Kau lihat sekelilingku ? Bagaimana aku menjangkaunya ? Kawan – kawanku menyapa tapi tak menghampiriku. Aku memang orang yang kalah.
Sahabat, pertemuan kita kemarin menghantarkan angin ke wajahku, masuk ke poriku dan menghentakan jiwaku. Ada garis – garis tegas yang semakin jauh membedakan kita. Kita bukan anak – anak yang sama lagi. Hidupmu jauh meninggalkanku sedang hidupku sangat dalam dilindas waktu. Aku merasa sulit mengikuti pembicaraan kita. Apakah itu berarti aku memang telah kalah oleh waktu ?
Kalau katamu dulu semangat membuat kita tetap hidup maka kini aku telah mati.
Sobatmu.
Sahabat, pertemuan kita kemarin seperti angin laut yang mengikis habis pasir pasir yang menempel menutupi wajahku. Sekian lama aku terbenam dalam pasir, hanya melihat sambil kusembunyikan wajahku. Aku merasa sedih dan takut sampai kau datang menemuiku. Aku masih ingat ketika kita sama – sama bermain ‘gobak sodor’ di sekolah, menarik kereta api dari pelepah pisang di jalan kota yang diteduhi pohon – pohon kenari. Aku tetap tinggal di kota kita dan menjadi saksi bisu akan perubahan – perubahan disekelilingku. Tapi hidupku tidak berubah.
Seperti sudah kukatakan padamu, aku merasa menjadi orang yang kalah. Aku hidup bersama istri dan dua anakku. Cintaku kepada mereka sangat dalam. Cinta yang aku berikan telah melebihi harapanku. Apakah itu cukup ? Sering menghantuiku aku tidak sanggup membesarkan mereka seperti cita – citaku dulu. Aku hanya bisa menghidupi mereka seadanya. Kau lihat sekelilingku ? Bagaimana aku menjangkaunya ? Kawan – kawanku menyapa tapi tak menghampiriku. Aku memang orang yang kalah.
Sahabat, pertemuan kita kemarin menghantarkan angin ke wajahku, masuk ke poriku dan menghentakan jiwaku. Ada garis – garis tegas yang semakin jauh membedakan kita. Kita bukan anak – anak yang sama lagi. Hidupmu jauh meninggalkanku sedang hidupku sangat dalam dilindas waktu. Aku merasa sulit mengikuti pembicaraan kita. Apakah itu berarti aku memang telah kalah oleh waktu ?
Kalau katamu dulu semangat membuat kita tetap hidup maka kini aku telah mati.
Sobatmu.