Friday, September 29, 2006

Reuni SMA Negeri 1 Cilacap Angkatan 1981

“ SELAWE TAUN KETEMU MANING “ adalah thema Reuni SMAN 1 Cilacap yang akan di adakan tanggal 26 Oktober 2006 hari Kamis di Cilacap. Yang merasa alumni diharapkan kehadirannya. Simak undangannya :

Cilacap, September 2006.
Assalamu’alaikum Wr. Wb,

Para kanca / sedulur kabeh sing rumangsa jebolan SMA 1 Cilacap Angkatan 1981, embuh kuwe jurusan IPA utawa IPS, pokoke ora dibedak – bedakna. Wong kabeh mau tujuwane kepengin padha kangenan ngiras – ngirus pas Badha. Tak arep – arep banget bisa nyelakna wektu, sewise lawas ora padha ketemu. Ayoh padha gendu – gendu rasa, gluwehan maning pas :

Dina / tanggal : Kemis, 26 Oktober 2006
Jam : 09.00 thit nganti rampung
Tempat : Gedhung Dwija Loka
Jl. Kalimantan Cilacap

Sepisan maning, diarep – arep banget rawuhe, nggo ngurubna maning obor paseduluran lan keguyuban kita kabeh.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ketuane Kangenan,
H. Slamet Muhajirin.

Juru Tulis,
Edi Warno

Sekretariat : Rumah Sri Yuniarti, Perum GSP Jl. Bengkalis Cilacap Tlp (0282)532021, 081542663461.
Kontak :
Cilacap : Slamet Muhajirin (0282)545839, 0816692699 / 08122670272, Hesti ( Etty ) 08164280625, Agus Kustantyo (0282)532097, 08122951762. Semarang : Drajat Rochmulyanto 081575926303, Rumekto 081575759034. Jakarta : Eddy Purnomo 081510032524, Kiswandi 08129483761. Bandung : Agus Warsito 08122046776. Surabaya : Bambang Pujianto 08123228957, Retno 081123571552. Purwokerto : Lisnardi 08122665206. Yogya : Surakso 081328793767.
Kontribusi : Minimum Rp. 50,000,- ( sing dijaluk sih lewih ) ditransfer via rekening Bank Mandiri cab. Cilacap no. 139.000.31.723.62 a/n Slamet muhajirin.

Informasi juga bisa diikuti di Website : http://telukpenyu.blogspot.com atau
http://web.the-ways.com/telukpenyu
SILAKAN MEMBERIKAN KOMENTAR. Click "comment" di bawah ini. Sebaiknya anda memilih other dan sebutkan nama user atau aninomous dan tulis nama. Thanks !

Kampung Laut Pun Jadi Kampung Darat

SEPERTI umumnya rumah nelayan di kampung laut, tempat tinggal Sutawa di Dusun Karanganyar, Desa Ujungalang, yang berada di wilayah Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah, merupakan rumah panggung yang amat sederhana.Sebagian dinding terbuat dari anyaman bambu yang biasa disebut gedhek, bagian lainnya papan kayu albasia. Rumah itu ditopang tiang–tiang dari batang kayu tancang.

Di salah satu tiang yang kokoh menancap di dasar laut, seutas tali mengikat kuat sebuah perahu jukung yang khas nelayan tradisional kawasan ini.Dengan perahu itu Sutawa setiap hari menangkap ikan. Ia tidak perlu jauh-jauh mendayung perahu jukungnya, karena di Perairan Segara Anakan ikan dan udang sangat melimpah. Sekali melaut ia dapat menangkap 25-50 kilogram. Malah pada musim angin barat untuk memperoleh satu kuintal ikan tidaklah sulit.

Tapi itu cerita tempo doeloe, ketika Laguna Segara Anakan masih luas dan dalam. Saat itu Segara Anakan jadi habitat ikan, udang, kerang totok, kepiting, dan biota laut lainnya. Ketika perkampungan nelayan di sana masih berupa rumah –rumah panggung di atas laut. Ketika itu, hutan mangrove juga belum ditebangi untuk dijadikan kayu bakar atau perangkat rumah.

Kini laguna telah menyempit. "Airnya cethek (dangkal). Sekarang jika melaut harus benar-benar memperhitungkan waktu. Harus tahu kapan air pasang dan kapan surut. Salah perhitungan berarti harus bekerja keras menyeret perahu pulang. "Kalau lagi surut, kedalaman Segara Anakan hanya berkisar 0,5-0,75 meter," ujar Kenci (51) kepada Kompas.

DI Segara Anakan terdapat empat desa kampung laut. Masing–masing Desa Ujungalang tempat tinggal Sutawa, Ujunggagak dan Panikel di Kecamatan Kawunganten, serta Desa Pamotan di Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Total penduduk kampung laut tidak kurang dari 14.000 jiwa. Desa-desa ini dikelilingi perairan dan hutan mangrove. Namun, rumah mereka yang dulu berupa rumah panggung di atas laut sekarang sudah hampir tidak dijumpai lagi. Meskipun demikian, julukan kampung laut tetap melekat. Perairan terus menyusut dan berubah menjadi daratan akibat endapan lumpur dari Sungai Citanduy dan sungai–sungai lain.
Bangunan–bangunan rumah pun berubah sejalan dengan bertambahnya tanah timbul (daratan). Dari rumah panggung kayu tancang menjadi rumah berdinding tembok dengan lantai keramik. Sebagian perumahan penduduk telah diterangi listrik tenaga surya. Lambat laut rumah papan mulai menghilang.

Sebagian penduduk berpindah pekerjaan dari nelayan menjadi petani, menggarap tanah-tanah timbul yang terus bertambah. Sebagian lainnya mencoba bertahan jadi nelayan.
Namun, belasan tahun terakhir semakin sulit mendapat tangkapan. "Untuk membawa dua hingga tiga kilo ikan kecil susahnya bukan main," tutur Kasan (43) warga Kampung Motean, Desa Panikel.
Bahkan, pada musim panen nelayan hanya dapat memperoleh tangkapan 25-30 kilogram ikaN.

Saat ini sebagian nelayan mengandalkan kepiting bakau sebagai tangkapan karena di pasaran harganya lumayan menggiurkan: Rp 25.000-Rp 30.000 per kilogram. Namun, kepiting bakau Segara Anakan mulai menyusut karena hutan mangrove habitat mereka ditebangi penduduk.
Sebenarnya kepiting tidak menghabiskan seluruh hidupnya di kawasan mangrove. Ia bertelur di lepas pantai. Setelah menetas, larva-larvanya menuju ke samudra. Tapi setelah tumbuh menjadi kepiting dewasa, ia memerlukan hutan bakau.
Kepiting-kepiting kecil itulah yang ditangkap nelayan, sehingga kepiting bakau lama kelamaan lenyap. Terlebih setelah kawasan hutan mangrove rusak dan Perairan Segara Anakan berubah jadi daratan akibat endapan lumpur.

Hilangnya hutan bakau juga mengurangi populasi ikan, udang, dan biota laut lainnya. Kawasan sisa-sisa hutan mangrove itu tidak lagi menjadi persinggahan burung bangau Australia yang akan bermigrasi, karena sudah sulit mematuk ikan atau udang.

Hasil survei yang dilakukan tahun 1980-an menunjukkan, di Segara Anakan terdapat 26 jenis tumbuhan mangrove dengan tiga jenis vegetasi (tumbuhan). Yang paling dominan adalah jenis api-api, bakau, dan tancang (Bruguiera gymnonthiza) yang sering dimanfaatkan penduduk untuk kerangka bangunan rumah panggung.

Mangrove memang merupakan ekosistem paling produktif di antara komunitas laut. Daun-daunnya yang rontok ke air dan kemudian melapuk merupakan tempat mencari makan serta tempat pemijahan berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut bernilai ekonomi tinggi. Kawasan ini berperan besar terhadap tingginya hasil perikanan di Laguna Segara Anakan.

Laguna yang saat ini luasnya tinggal 600 ha, pernah menyumbang tujuh persen dari total produksi udang di Perairan Cilacap. Tahun 1990 misalnya, hasil tangkapan udang dari Segara Anakan berkisar 830-an ton. Namun, tahun-tahun terakhir untuk mencapai angka 25 ton saja amatlah sulit.

PERUSAKAN hutan mangrove sudah berlangsung lama dan meningkat tajam pertengahan 1980-an. Penyusutan hutan ini secara signifikan diikuti penurunan hasil tangkapan ikan dan udang.
Perusakan hutan bakau tahun 1984 oleh penduduk di kampung laut tanpa disadari telah menyebabkan malapetaka dengan berjangkitnya penyakit malaria. Kejadian itu menelan korban 107 jiwa warga kampung laut, dan sekitar 345 orang lainnya dirawat di rumah sakit.
Penebangan kawasan hutan mangrove menyebabkan luas hutan ini terus menyusut. Hutan mangrove yang luasnya pernah mencapai 21.000 ha lebih kini diperkirakan hanya seluas 1.200 ha.

Bersamaan dengan menyusutnya hutan mangrove, perairan Segara Anakan ikut menyempit karena sedimentasi dari beberapa sungai yang bermuara di situ. Tak ada lagi mangrove yang menghambat sedimentasi, sehingga pendangkalan berlangsung amat cepat.
Citanduy misalnya, setiap tahun menyumbang sedikitnya 6,4 juta ton sedimen. Ini ditambah 1,5 juta ton sedimen dari Sungai Cimeneng. Erosi dari hutan Daerah Aliran Sungai Citanduy saat ini masuk kategori "berat dan sangat berat".
Menumpuknya sedimen Citanduy dan beberapa sungai lain selama bertahun-tahun mendangkalkan dan menyempitkan perairan. Dulu kedalaman Segara Anakan 8-10 meter, sekarang tak lebih dari 1,25 meter.

Tahun 1903 luas Segara Anakan masih 6.450 ha, tapi tahun 1998 luasnya tinggal 1.400 ha. Menurut citra satelit yang terekam September 2002, luasnya tinggal 600 ha.
Laguna Segara Anakan tinggal menunggu lenyap saja dari peta Kabupaten Cilacap. Tanpa upaya penyelamatan, dua-tiga tahun ke depan Laguna tersebut tinggal alur-alur sungai saja.

Cilacap : Places of Interest

PANTAI TELUK PENYU
Pantai Teluk Penyu terletak di sebelah timur kota Cilacap dan merupakan garis batas antara kota dengan samudra Hindia. Pantai berpasir hitam ini bergelombang cukup besar. Banyak dikunjungi wisatawan dalam negeri pada hari – hari libur. Penduduk local biasanya pergi ke pantai ini pada pagi hari saat matahari terbit dan sore hari menjelang maghrib. Banyak dijumpai kapal nelayan tradisional untuk menangkap ikan maupun disewa untuk memancing dan berwisata. Banyak warung dan restoran menyajikan menu makanan laut disamping kios – kios penjual souvenir khas laut termasuk penyu yang telah di keringkan ( seharusnya penyu – penyu ini dilindungi ). Apabila mengunjungi pantai ini disarankan menuju ke arah selatan mendekati selat Nusa Kambangan karena pantainya jauh lebih bersih. Jangan berharap untuk melihat penyu bertelur maupun mendarat di pantai ini. Teluk Penyu membusur hingga perbatasan kabupaten Kebumen. Dulunya sangat indah dengan hutan pohon kelapa di garis pantai. Tapi semua itu rusak sejak adanya eksploitasi penambangan pasir besi yang diputuskan pemerintah tahun 1971. Lokasi penambangan disepanjang pantai teluk penyu sekarang meninggalkan lubang dan tidak menyisakan pohon kelapa tanpa usaha – usaha pemulihan.

BENTENG PENDEM
Benteng Pendem Cilacap atau dalam bahasa Belanda disebut ”Kusbatterij op de Lantong te Cilacap”, adalah bekas markas pertahanan tentara Hindia Belanda yang dibangun secara bertahap tahun 1861-1879 dengan luas 6,5 hektar. Benteng yang tertutup tanah ini menjadi saksi sejarah jaman pendudukan Belanda dan Jepang di Cilacap. Posisi benteng ini tepat di ujung selatan Pantai Teluk Penyu menghadap ke arah mulut selat Nusa Kambangan yang merupakan pintu masuk ke pelabuhan alam Cilacap. Pada tahun 70-an benteng ini tidak sendirian, benteng – benteng kecil berjejer di sepanjang pantai. Benteng – benteng kecil ini hancur bersama datangnya kepentingan industri di Cilacap.

PELABUHAN ALAM
Pelabuhan Cilacap adalah pelabuhan yang terbentuk secara alamiah dengan kedalaman yang memadai. Aman dari hantaman gelombang karena terlindung oleh Pulau Nusa Kambangan. Pelabuhan ini mempunyai sejarah penting saat takluknya sekutu ( termasuk Belanda ) oleh Jepang. Pada masa itu pelabuhan Cilacap merupakan salah satu dari tiga pelabuhan terpenting di Jawa ( Batavia – Soerabja – Tjilatjap ). Saat perang laut jawa tahun 1942 antara sekutu dan Jepang pelabuhan ini menjadi titik penting terakhir bagi armada sekutu sebelum melakukan evakuasi ke Australia.

SELEKO
Seleko adalah sebuah dermaga kecil untuk kepentingan masyarakat umum. Disini biasanya kita bisa menikmati matahari terbenam di kota Cilacap. Dermaga kecil ini langsung menghadap hutan bakau di barat Cilacap.

BATTERIJ
Adalah nama dermaga kecil yang menghubungkan Cilacap dengan Nusa Kambangan. Ini adalah titik terdekat antara kota Cilacap dengan Pulau Nusa Kambangan. Dermaga ini sering disebut juga dermaga Wijayakusumah.

NUSAKAMBANGAN
Pemilik pulau ini adalah Departemen Kehakiman tetapi secara kewilayahan masuk ke dalam wilayah administrative kota Cilacap Selatan. Departemen Kehakiman menggunakan pulau ini sebagai tempat penjara kelas kakap. Di "pulau penjara" ini, sejumlah bangunan bersejarah peninggalan pemerintah kolonial Belanda bisa dijumpai. Bangunan bersejarah seperti rumah penjara, tempat peristirahatan di candi, benteng Portugis dengan peninggalan meriam kuno yang merupakan sebagian potensi alam serta sejarah di Nusakambangan, ditawarkan sebagai atraksi wisata. Di pulau ini terdapat sekitar 25 goa, seperti Goa Putri dan Ratu yang kini telah dikembangkan oleh Pemda Cilacap-Goa Kledeng, Pasir, dan Goa Lawa ( goa kelelawar ) yang dihuni ribuan hewan malam ini.
Nusakambangan dapat dikunjungi dengan menggunakan kapal feri dengan kapasitas 8 mobil dari dermaga Lomanis dengan waktu tempuh 30 menit. Dengan menggunakan jasa feri ini pengunjung tidak perlu meminta ijin khusus untuk masuk ke pulau. Pertama kali mendarat di pulau ini akan melihat monumen Nusakambangan berupa sebuah tugu peringatan yang jaraknya hanya sekira 10 meter dari Pelabuhan Sodong, Nusakambangan.
Menuju arah barat pulau ini, terdapat bangunan penjara peninggalan Belanda seperti bangunan LP Limus Buntu. Bangunan penjara pertama yang dibangun Belanda, adalah LP Permisan yakni tahun 1908 dan terletak di ujung selatan pulau ini. Pada tahun 1912 dibangun lagi sebuah penjara di daerah Nirbaya dan Karanganyar. Selama kurun waktu tahun 1925 sampai tahun 1935 dibangun rumah penjara di Batu, Karangtengah Gliger, Besi, dan Kembangkuning hingga seluruh LP di sana berjumlah sembilan.
Di samping bangunan-bangunan penjara di sebuah perbukitan di daerah candi, terdapat sebuah pesanggrahan. Dari atas puncak bukit ini, kita dapat melihat kerlip-kerlip sinar lampu Kota Cilacap serta kawasan hutan bakau di Segara Anakan. Dari 9 LP yang dibangun Belanda hanya empat yang difungsikan, yakni LP Batu, Besi, Kembangkuning, dan Permisan. Di sisi timur, terdapat Monumen Artileri Benteng Pendem peninggalan Belanda dan mercusuar di Pantai Cimiring.
Di ujung timur pulau terdapat pulau kecil yang menempel ke pulau induk. Pulau ini dipercaya sebagai tempat tumbuhnya pohon bunga wijayakusuma. Bunga ini adalah mithos Cilacap dan sangat mempengaruhi sejarah Cilacap masa lampau. Sedangkan garis pantai selatan pulau berhadapan langsung dengan samudera Hindia. Pantai – pantai disini berpasir putih, sangat bersih dan masih sangat alamiah. Penyu atau kura – kura laut masih sering mendarat disini. Hanya sangat disayangkan potensi wisata ini mulai terancam dengan adanya penambangan batu kapur untuk kepentingan industri semen.

KAMPUNG LAUT
Seperti namanya kampung ini memiliki rumah – rumah panggung yang berada di atas air laut. Terletak di sebelah barat kota Cilacap, tepatnya di daerah hutam bakau di Segara Anakan. Kampung ini unik karena letaknya. Untuk mencapainya tentu harus menggunakan perahu nelayan atau perahu motor dari dermaga Seleko.

HUTAN BAKAU dan SEGARA ANAKAN
Segara anakan adalah sebuah laguna yang menjadi titik pertemuan air samudera Hindia dengan sungai – sungai dari daerah jawa barat terutama sungai Citandui. Karena kondisinya ini Segara Anakan ditumbuhi hutan bakau yang amat luas. Segara Anakan menjadi jalus transpotasi laut yang menghubungkan Cilacap dengan Jawa Barat seperti Pangandaran dan Banjar. Bagi yang senang bertualang dan wisata alam tempat ini akan memberikan pengalaman yang berbeda.

Friday, September 22, 2006

Wijayakusuma Kembang Raja-Raja Tanah Jawa

Peristiwa terjadinya kembang Wijayakusuma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari Kediri itu setelah bertahun-tahun menimbulkan kepercayaan bagi raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta. Menurut cerita, setiap ada penobatan raja baik Susuhunan di Surakarta maupun Kesultanan di Yogyakarta mengirim utusan 40 orang ke Nusakambangan untuk memetik kembang Wijayakusuma. Sebelum melakukan tugas pemetikan, para utusan itu melakukan ziarah ke makam-makam tokoh leluhur di sekitar Nusakambangan seperti pasarehan Adipati Banjaransari di Karangsuci, Adipati Wiling di Donan, Adipati Purbasari di Dhaunlumbung, Kyai Singalodra di Kebon Baru dan Panembahan Tlecer di Nusakambangan.

Tempat lain yang juga diziarahi yaitu pasarehan Kyai Ageng Wanakusuma di Gilirangan dan Kyai Khasan Besari di Gumelem (Banjarnegara). Selain ziarah atau nyekar, mereka melakukan tahlilan dan sedekah kepada fakir miskin. Malam berikutnya “nepi” (bermalam) di Masjid Sela. Masjid Sela adalah sebuah gua di pulau Nusakambangan yang menyerupai Masjid. Pemetikan kembang Wijayakusuma juga dilakukan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono XI, yaitu saat Sunan Pakubuwono XI baru “jumenengan” (dinobatkan sebagai raja). Bahkan adat leluhur ini konon sudah dilakukan jauh sebelum itu.

Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan untuk memetik kembang Wijayakusuma, yaitu setelah ia rnenobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya. Menurut seorang sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan tersebut dilaksanakan di Ajibarang pada tanggal 7 Juli 1677 dalam perjalanannya ke Batavia saat dikejar Trunojoyo. Menurut keterangan, cara memetik bunga Wijayakusuma tidak dengan tangan tetapi dengan cara gaib melalui samadi. Sebelumnya para utusan raja melakukan upacara “melabuh" (sedekah laut) di tengah laut dekat pulau Karang Bandung. Sebelum dipetik, pohon itu dibalut terlebih dahulu dengan cinde sampai ke atas. Dengan berpakaian serba putih utusan itu bersamadi di bawahnya, jika memang samadinya terkabul, kembang Wijayakusuma akan mekar dan mengeluarkan bau harum. Kemudian bunga itu jatuh dengan sendirinya ke dalam kendaga yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya kembang tersebut dibawa para utusan ke Kraton untuk dihaturkan ke Sri Susuhunan / Sri Sultan. Penyerahan itu pun dilakukan dengan upacara tertentu, konon kembang itu dibuat sebagai rujak dan disantap raja yang hendak dinobatkan, dengan demikian raja dianggap syah dan dapat mewariskan tahta kerajaan kepada anak cucu serta keturunannya.

Mithe tentang kembang Wijayakusuma ini sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan di pantai selatan. Ada sejenis ikan yang mereka keramatkan yaitu ikan Dawah (dawah artinya jatuh). Ikan ini dianggap jelmaan dari daun pohon Wijayakusuma yang berjatuhan di laut. Para nelayan itu sangat berpantang memakan ikan Dawah, mereka takut mendapat bencana atau malapetaka. Umumnya mereka menolak rezeki Tuhan yang satu ini padahal dagingnya empuk dan rasanya lezat. Pengaruh Mithe ini juga melahirkan upacara budaya sedekah laut yang dilaksanakan setiap bulan Sura, mereka melarung rezekinya ke laut pantai selatan.

Salah Sijining Mithos Wijaya Kusumah

( Bahasa Cilacap-an ) Jere, dong jaman gemiyen banget nang daerah Jawa Timur (Kediri) ana maharaja sing gelare Prabu Aji Pramosa. Raja kuwe duwe watek atos, dheweke wegah tunduk maring sapa baen. Raja kuwe ora seneng angger ana wong nang nagarane sing ketone nonjol utawa duwe pengaruh. Petugas sandi (intel) kerajaan disebar ming kabeh penjuru kerajaan tur akhire jere ana laporan nek nang kerajaan kuwe pancen ana Resi sing wis kesohor merga sekti pisan.

Resi kuwe jenenge Resi Kano gelare Kyai Jamur. Kesekten Kyai Jamur akhire krungu nang kuping raja. Raja Prabu Aji Pramosa kesuh banget ning nek arep nangkap rakyat sing ora duwe salah kuwe kudu ana alesane. Akhire raja ngundang patih, hulubalang, senapati karo pejabat utama kerajaan maksude nggolet cara nggo ngatasi kyai sakti kuwe. Bar olih saran sekang petinggi kerajaan, raja langsung mutusna: Kanggo njaga keselametan kerajaan karo raja, Kyai Jamur kudu diusir sekang kerajaan utawa dipateni sisan, kaya kuwe titah sang raja.

( Bahasa Indonesia ) Rupanya berita pengusiran ini cepat terdengar Kyai Jamur, “sebelum utusan kerajaan datang, saya harus meninggalkan negeri ini lebih dahulu” demikian gumam Kyai Jamur dalam hatinya. Mendengar Kyai Jamur sudah tidak berada di tempat, sang Aji Pramosa bertambah murka. Raja pun memerintahkan para punggawa kerajaan mengejar dan menangkap sang Resi, Resi itu harus dihukum. Sekedar alasan untuk kedok, Resi dianggap bersalah karena pergi tanpa seijin raja.

Sang Resi berjalan terus ke arah barat menyusuri pantai selatan sampai akhirnya tiba di suatu daerah yang disebut Cilacap, dia menganggap bahwa daerah ini cukup aman, tersembunyi dari pantauan raja. Pencarian dan pengejaran sang raja rupanya tak kenal berhenti, Resi Kano harus tertangkap. Setelah dicari ke seluruh pelosok, persembunyian Resi akhirnya dapat diketahui.

Ketika sang Resi sedang bersamadi, Aji Pramosa dan punggawanya datang, kesempatan itu tidak mereka sia-siakan, sang Resi langsung ditangkap dan dibunuh. Berkat kesaktiannya, jasad sang Resi menghilang (muksa), ini membuat raja sangat terkejut takut dan keheranan. Belum hilang rasa herannya, sang raja dikejutkan lagi oleh suara gemuruh serta angin ribut dari tengah laut. Aji Pramosa berusaha tetap tenang menghadapi berbagai peristiwa yang mengerikan itu. Suara gemuruh dan anginpun reda, namun pada saat yang sama datanglah seekor naga besar mendesis-desis seolah-olah hendak melahap Aji Pramosa. Gelombang laut menjadi besar bergulung-gulung, hingga banyak penyu (kura-kura) minggir ke tepi pantai. Pantai itu dikemudian hari disebut Pantai Telur Penyu. Dengan sigapnya sang Aji Pramosa segera melepaskan anak panahnya, ternyata tepat mengenai sasaran, perut nagapun robek terkena panah dan naga hilang tergulung ombak.

Rupanya naga tadi jelmaan dari seorang putri cantik yang muncul dengan tiba-tiba sambil berlarian di atas gulungan ombak dari arah timur pulau Nusakambangan. Sang putri ayu menghampiri Aji Pramosa sembari mengucapkan terima kasih karena berkat panahnya ia bisa menjelma kembali menjadi manusia. Sebagai rasa terima kasih, putri cantik tadi menghaturkan bunga Wijayakusuma kepada sang Aji Pramosa. Sang putri mengatakan “kembang Wijayakusuma tidak mungkin bisa diperoleh dari alam biasa, barang siapa memiliki kembang itu bakal menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa”. Selanjutnya putri cantik memperkenalkan diri, namanya Dewi Wasowati. la berpesan, kelak pulau ini akan bernama Nusa Kembangan. Nusa artinya pulau dan Kembangan artinya bunga. Seiring pergantian jaman, nama Nusa Kembangan akhirnya berubah menjadi Nusakambangan. Prabu Aji Pramosa sangat girang hatinya menerima hadiah kembang itu, kemudian dengan tergesa-gesa ia mengayuh dayungnya untuk kembali menuju daratan Cilacap, tetapi karena terlalu gugup dan kurang hati-hati, kembang itu jatuh ke laut dan hilang tergulung ombak, dengan sangat menyesal sang Aji Pramosa pulang tanpa membawa kembang.

Beberapa lama setelah sang Prabu berada di kerajaan, terbetik berita bahwa di pulau karang dekat Nusakambangan tumbuh sebuah pohon aneh dan ajaib, beliau pun ingin menyaksikan pohon aneh yang tidak berbuah itu dan ternyata benar bahwa pohon itu tidak lain adalah Cangkok Wijayakusuma yang ia terima dari Dewi Wasowati. Melihat pohon itu, sang Aji Pramosa teringat akan kata-kata Dewi Wasowati bahwa siapa yang memperoleh kembang Wijayakusuma akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Bunga Wijayakusuma : Makna

Sorry, ini bahasa Cilacap-an.
Disadur dari Wikipedia.

Nang crita pewayangan, kembang Wijayakusuma kuwe azimat utawa senjata ampuh Sri Bathara Kresna putra panengah Prabu Basudewa sekang kerajaan Mandura. Kresna kuwe raja sing bijaksana sekang negara Dwarawati. Kembang Wijayakusuma kuwe mung dienggo kanggo ngewangi para putra Pandawa angger agi kedesak.
Kata Wijayakusuma dhewek jane asale sekang rong kata, Wijaya kuwe artine menang, Kusuma kuwe artine kembang, dadi Wijayakusuma kuwe artine kembang kemenangan. Nang crita rakyat, Sri Bhatara Kresna sing nang donya wayang dianggep titisan Sang Hyang Wisnu, kuwe muksa (mati ngilang). Dheweke mbalangna kembang Wijayakusuma nang segara kidul utawa samudera Indonesia pedhek karo pulau Nusakambangan siki. Kembang kuwe dibalangna bareng karo kendaga utawa wadahe. Tutup kendaga sing bentuke bulat kuwe njelma dadi pulau Majeti, terus wadah bagian ngisore dadi pulau Bandung. Loro pulau kuwe anane pedhek karo Pulau Nusakambangan. Konon nang pulau Bandung kuwe anane kembang Wijayakusuma.

”Kusbatterij op de Lantong te Cilacap”

BENTENG Pendem Cilacap atau dalam bahasa Belanda disebut ”Kusbatterij op de Lantong te Cilacap”, terletak sekira setengah kilometer ke arah selatan dari objek wisata pantai Teluk Penyu. Bangunan ini adalah bekas markas pertahanan tentara Hindia Belanda yang dibangun secara bertahap tahun 1861-1879 dengan luas 6,5 hektar.

Konfigurasi bangunan Benteng Pendem, sampai saat ini masih kokoh. Arsitek Belanda mendesain Benteng Pendem lengkap dengan barak/ ruang prajurit, klinik, terowongan, penjara, ruang amunisi, ruang tembak yang dikelilingi pagar dan parit serta tertimbun tanah sedalam 1-3 meter.
Kini, bangunan bersejarah itu menjadi salah satu objek wisata andalan Kabupaten Cilacap. Disebut Benteng Pendem, karena bangunan bersejarah itu nyaris tertutup tanah perbukitan. Dari puncak benteng ini, kita dapat melihat Samudra Indonesia.
Belanda membangun Benteng Pendem sebagai markas pertahanannya hingga tahun 1942. Sebab, saat perang melawan Jepang, Sekutu kalah. Benteng ini kemudian dikuasai Jepang.
Benteng tersebut, juga menjadi saksi perjuangan rakyat Cilacap melawan penjajahan Belanda. Di benteng ini, ratusan rakyat Cilacap dan para pejuang ditawan penjajah.
Pada tahun 1945, saat Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh tentara Sekutu dan Jepang hengkang kembali ke negerinya - bangunan yang berada tak jauh dari Pulau Nusakambangan tersebut, dikuasai TNI dari Banteng Loreng Kesatuan Jawa Tengah. Di tempat itu pula, para pejuang kemerdekaan berlatih perang dan pendaratan laut.
Pada tahun 1986, dilakukan penggalian terhadap lokasi yang berada di pintu Pelabuhan Cilacap tersebut. Ternyata di dalamnya terdapat ratusan ruangan, terdiri barak, benteng pertahanan, benteng pengintai, ruang rapat, klinik pengobatan, gudang senjata, gudang mesiu, ruang penjara, dapur, ruang perwira, dan ruang peluru.
Sebelumnya tak ada yang menyangka, jika di dalam tanah gundukan yang berada tak jauh dari kilang minyak tersebut terdapat sebuah bangunan bersejarah.
Karena konon tempat tersebut lebih dulu dibuat bangunan, baru setelah itu ditimbun dengan tanah setebal empat meter, sehingga bangunan tersebut tidak terlihat.
Pada masa pemerintahan Belanda, banyak tentara yang dipenjara di Benteng Pendem dikabarkan tidak kembali. Di lokasi ini diperkirakan masih terdapat bangunan lain yang tertimbun. Dari Benteng Pendem itu pula, konon terdapat terowongan yang menghubungkan dengan benteng sejenis serta sejumlah gua-gua di Pulau Nusakambangan melalui bawah laut.
**
Antara Benteng Pendem dan Pulau Nusakambangan memang ada kaitannya. Di "pulau penjara" ini, sejumlah bangunan bersejarah peninggalan pemerintah kolonial Belanda bisa dijumpai.
Bangunan bersejarah seperti rumah penjara, tempat peristirahatan di candi, benteng Portugis dengan peninggalan meriam kuno yang merupakan sebagian potensi alam serta sejarah di Nusakambangan, memiliki prospek bagus untuk ditawarkan sebagai atraksi wisata.
Di pulau ini terdapat sekira 25 goa, termasuk goa kelelawar yang dihuni ribuan hewan malam ini.
Memasuki Nusakambangan dengan waktu tempuh 15 - 20 menit dari Dermaga Wijayapura, pertama kali akan melihat monumen Nusakambangan berupa sebuah tugu peringatan yang jaraknya hanya sekira 10 meter dari Pelabuhan Sodong, Nusakambangan.
Menuju arah barat pulau ini, terdapat bangunan penjara peninggalan Belanda seperti bangunan LP Limus Buntu. Bangunan penjara pertama yang dibangun Belanda, adalah LP Permisan yakni tahun 1908 dan terletak di ujung selatan pulau ini. Pada tahun 1912 dibangun lagi sebuah penjara di daerah Nirbaya dan Karanganyar.
Selama kurun waktu tahun 1925 sampai tahun 1935 dibangun rumah penjara di Batu, Karangtengah Gliger, Besi, dan Kembangkuning hingga seluruh LP di sana berjumlah sembilan.
Di samping bangunan-bangunan penjara di sebuah perbukitan di daerah candi, terdapat sebuah pesanggrahan. Dari atas puncak bukit ini, kita dapat melihat kerlip-kerlip sinar lampu Kota Cilacap serta kawasan hutan bakau di Segara Anakan.
Sayangnya, berbagai bangunan yang ada di sana saat ini dalam kondisi rusak berat. Dari 9 LP yang dibangun Belanda hanya empat yang difungsikan, yakni LP Batu, Besi, Kembangkuning, dan Permisan.
Objek alam yang mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah goa-goa alam seperti Goa Putri dan Ratu yang kini telah dikembangkan oleh Pemda Cilacap-Goa Kledeng, Pasir, dan Goa Lawa (Kelelawar) yang terletak di bagian tengah. Di sisi timur, terdapat Monumen Artileri Benteng Pendem peninggalan Belanda dan mercusuar di Pantai Cimiring.(Ibnu Sofwan/"PR")***

Wednesday, September 20, 2006

Bagaimana Cara Mencapai Cilacap ( Tjilatjap )

Cilacap terletak di pantai sebelah selatan provinsi Jawa – Tengah. Kota Cilacap adalah ibu kota kabupaten Cilacap dengan letak geografis berbatasan langsung dengan kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Bila berkendara melalui lintas selatan menuju ke arah Yogyakarta, di daerah perbatasan Ciamis – Cilacap kita akan melintasi jembatan sungai citandui dengan patung Maung ( Harimau ) Siliwangi disisi Ciamis dan patung Pangeran Diponegoro di sisi Kabupaten Cilacap. Cilacap berjarak 400 km dari Jakarta dan ditempuh dalam waktu 8 jam berkendara dengan kecepatan normal.

Menuju Kota Cilacap sangatlah mudah. Semua akses tersedia. Dengan titik awal Jakarta kita bisa menggunakan akses udara, kereta api maupun berkendara melalui jalan darat.

Bila kita ingin menggunakan pesawat udara tersedia penerbangan yang melayani rute bandara Halim Perdana Kusumah ke bandara Tunggul Wulung di kota Cilacap. Penerbangan ini tentu bukan dengan pesawat Boing. Dari bandara Tunggul Wulung kita bisa menggunakan kendaraan sewa atau mobil hotel. Tentu kita harus reservasi dulu ke pihak hotel. Perlu di ingat di Cilacap belum tersedia Taxi dengan argometer.

Cara yang paling nyaman adalah menggunakan jasa Kereta Api. PT KA menyediakan kereta api kelas eksekutif dan kelas bisnis ke Cilacap. ‘ Purwojaya ‘ adalah nama kereta yang melayani rute stasiun Gambir menuju Cilacap kota. Berangkat dari Stasiun Gambir pukul 06.45 samapi di Cilacap pk. 14.00. Kembali ke Jakarta pk. 18.00 sampai Gambir pk. 02.00. Disarankan untuk memesan tempat lebih dahulu. Dari stasiun Cilacap kita bisa menggunakan becak, kendaraan hotel atau angkutan kota. Secara umum kondisi social di Cilacap aman sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan penipuan oleh sopir angkutan.

Karena posisi kota Cilacap yang berada di ujung sebuah tanjung maka jalur kereta Cilacap berakhir di stasiun Cilacap. Oleh karena itu tidak ada kereta penumpang lain selain ‘Purwojaya’ yang berhenti di stasiun Cilacap. Kereta penumpang lain seperti Argo Lawu atau kereta – kereta lain yang melintasi rute selatan tidak akan melintasi Kota Cilacap tetapi hanya melintasi stasiun Kroya sebuah kota kecamatan di kabupaten Cilacap. Letak Kroya adalah 40 km dari kota Cilacap. Tersedia banyak angkutan umum ke kota Cilacap. Hanya kereta eksekutif seperti argo Lawu tidak berhenti disini. Apabila kita memilih kereta eksekutif lintas selatan selain kereta ‘Purwojaya’ disarankan untuk turun di kota Purwokerto. Purwokerto berjarak 50 km dari kota Cilacap dan tersedia banyak angkutan umum disini, mulai dari bus hingga kendaraan carteran.

Selain itu tentu saja banyak bus antar kota dari terminal utama Pulau Gadung, Kp. Rambutan, Kali Deres dan Grogol yang mempunyai tujuan Cilacap. Ada juga beberapa kendaraan travel yang melayani rute Cilacap.

Apabila suka berkendara tentu ini menjadi trip yang sangat disarankan. Disarankan untuk melalui jalur selatan, selain lebih nyaman juga banyak tersedia tempat makan yang bersih dan enak serta SPBU ( POM Bensin ). Masalah bahan bakar kendaraan ini perlu disiasati pengisiannya apabila kendaraan kita mengkonsumsi bahan bakar beroktan 92/95 ( pertamax/pertamax plus ). SPBU yang menyediakan pertamax / pertamax plus hanya ada di Tol Cikampek, Bandung, Ciamis ( sebelum masuk Banjar ) dan Cilacap. Jadi penuhilah tangki bahan bakar di tempat – tempat ini walaupun tangki masih terisi bahan bakar.

Dengan adanya tol Cipularang waktu menjadi lebih singkat. Keluar Tol Gate Cileunyi kita langsung menuju Nagrek, Tasik Malaya, Ciamis, Banjar dan Cilacap. Setelah memasuki kabupaten Cilacap yang ditandai patung Pangeran Diponegoro kita bisa memilih 4 akses darat menuju kota Cilacap. Secara berurutan dari arah Banjar adalah akses Cukang Leleus, Wangon, Rawalo dan Buntu ( ini nama kota kecamatan ). Yang paling singkat tentu saja akses Cukang Leleus. Akses sempit ini cukup mulus dan hanya dilalui kendaraan kecil. Tetapi tidak direkomendasikan pada waktu musim hujan karena melintasi daerah banjir. Yang teraman bangi pendatang baru adalah akses Wangon.

Dengan menggunakan kendaraan pribadi banyak keuntungan yang bisa didapat. Kita bisa menggabungkan kunjungan Pangandaran – Cilacap – Yogya. Selain itu kita bisa berkendara di Pulau Nusa Kambangan.

Hotel tempat menginap ? Banyak hotel di Cilacap mulai dari kelas Melati hingga bintang tiga. Bagi yang bertipe family direkomendasikan untuk menginap di Hotel Mutiara, jl Gatoto Subroto. Dari sini masalah kendaraan dan tour guide dapat di atur dengan pihak hotel.

Tuesday, September 19, 2006

World War II history : The last corvettes to leave Tjilatjap

Tjilatjap (Cilacap) is situated on the East Coast of Java in then Dutch East Indisch.
The following corvettes were the last vessels to leave the harbour with evacuees in year of 1942, while the Japanese invasion took place.

HMAS Ballarat (Lt Cdr A.D. Barling, RANR)
On 13 February 1942 she was bombed by Japanese aircraft in the Banka Strait, but escaped damage and on 14 February 1942 she rescued 213 survivors from The British vessel Derrymore, torpedoed the day before nort-west of Batavia. She was active in the evacuation of Sumatra and on 19-20 February 1942 she took a party of RAF personnel from Batavia to Oosthaven where they salvaged a quantity of essential Air Force materials.
She was the very last vessel to leave Tjilatjap on 3 March 1942. Having remained behind to scuttle
HMS Gemas, a small unseaworthy minesweeper. She reached Fremantle on 9 March 1942.

HMAS Bendigo (Lt S.J. Griffith, RANR)
On 5 February 1942 in Singapore, she rescued 78 survivors from the Empress of Asia from which HMAS Yarra had had embarked 10804 troops. On the night of 6 February 1942, She was the second last war ship to leave Singapore before that city fell to the Japanese.
From 18-20 February 1942 she embarked evacuees from Palembang (Sumatra). After that She berthed at Tjilatjap in company of HMAS Burnie. Having embarked 73 evacuees she sailed for Fremantle on the night of 1 March 1942 and arrived on 8 March 1942.

HMAS Burnie (Lt T. Christy RANR)
On 16 January 1942 Lt T. Christy took over command from Lt G.E. Gough.
She took part in the evacuation of Sumatra from 18-20 February 1942 and stood by at Oosthaven, where she took off the rear guard after the demolition of the installations and took them to
Tanjong Priok. On 28 February 1942 with HMAS Bendigo she rescued survivors from the Dutch vessel Broero on Java Head (where they had landed after their ship was torpedoed two days before), and took them to Tjilatjap.
She left for Australia on 2 March 1942, having on board the Commodore Commanding China Force: Capt. John A. Collins, whose broad pennant was hoisted at Burnie's masthead. She reached Fremantle on 8 March 1942.

HMAS Goulburn (Cdr B. Paul, RANR)
After the fall of Singapore she operated at Oosthaven during the evacuation of Sumatra, in February 1942. With Burnie she brought out troops and material in the face of enemy air attacks.
She left Tjilatjap 2-3 March 1942 and reached Fremantle on 9 March 1942.
HMAS Maryborough (Lt Cdr L. Cant, RAN)
After leaving Singapore Maryborough participated in the evacuation of Sumatra and Java. Maryborough departed Tjilatjap at 8 pm on 2 March 1942. She escorted the Dutch vessel Generaal Verspeijk and both reached Fremantle on 10 March 1942.

HMAS Toowoomba (Lt. Cdr. P.H. Hirst, R.A.N)
On 3 February Toowoomba and Ballarat left Singapore, escorting two small British minesweepers to Palembang (Sumatra). On the way Toowoomba rescued the crew of SS Loch Ranza, aground off Abang Island in the Rhio Strait. Later both vessels were bombed (Toowoomba was slightly damaged), but both reached Palembang on 6 Febraury 1942. On 12 February 1942 she left Palembang with a convoy for Batavia (Jakarta), after which she was employed in submarine patrols and escort duties between Tanjon Priok (harbour of Batavia) and Merak (Sunda Strait). She survived several bombing attacks. Finally with the rest of her flotilla, she sailed through the Sunda Strait to Tjilatjap.
She left Tjilatjap on 2 March 1942 and reached Fremantle on 9-10 March 1942.

HMAS Wollongong (Lt G.A. Keith RANR)
On 5 February 1942 after embarking the remainder of the survivors, including the ship's master and chief engineer from the burning troopship Empress of Asia, she left Singapore on 6 February 1942 and sailed to Palembang. From 18-20 February 1942 she took part in the evacuation of Sumatra. On 28 February 1942 she was part of the last Allied convoy to leave Tajong Priok before the fall of Java.
While in this convoy the tanker War Sidar ran aground in the Sunda Strait, an Wollongong tried unsuccessfully to tow her off. Later she towed another tanker the British Judge, who was torpedoed, to Tjilatjap.
She left Tjilatjap 2 - 3 March 1942 and arrived at Fremantle on 9 March 1942.

Tjilatjap During World War II (1939-1945)

Initially Holland was again neutral, until invaded by Germany on the 10th May 1940.

• A week later, Holland was lost. The Dutch Royal Family was evacuated to England, as was a Dutch Government-in-exile.
• The first KPM wartime loss was the 3,000 ton “Rantaupandjang”, sunk on the 22nd February 1941, by the German Pocket Battleship “Admiral Scheer” north of Madagascar, homeward bound from South Africa with a full cargo of coal.
• On the 7th December 1941, Japan entered the war with the attack on Pearl Harbour.
• Three days later, the British battleships “Repulse” and “Prince of Wales” were lost off the east coast of Malaya.
• On the 12th December 1941, “Patras” and four other KPM ships embarked Australian troops at Darwin and landed them safely several days later at Ambon, escorted by HMAS “Adelaide”.
• During January and February 1942, the unarmed and unescorted Allied ships were at the mercy of the Japanese Navy and Air Force and losses came thick
and fast
• On the 15th February 1942, Singapore, the cornerstone of the Allied defence of South East Asia, fell to the Japanese and all Allied resistance in the area, except the small Allied Naval Force, had been snuffed out.
• Fifteen days later, that too, was obliterated in the Battle of the Java Sea.
• That was just about it!
• For the Allied ships, there was then nowhere to go in the whole of the Far East, South East Asia and a large slice of the Pacific, but Tjilatjap, the small port on the mid-south coast of Java.
• On the 4th and 5th March 1942, came the first heavy air raids on Tjilatjap and the end was nigh. The KPM supply and repair ship “Barentsz” was totally destroyed, as well as a number of other KPM ships and the floating dock and floating crane, which had been towed from Batavia.
• Finally, on the 7th March 1942 – exactly 3 months after Pearl Harbour – Japanese land forces reached Tjilatjap and it was all over!
• The Netherlands East Indies had held out just three more weeks after Singapore fell on the 15th February 1942. It had cost the Allies dearly.

Tjilatjap : History of Navy


Edited from Netherland Navy

INTRODUCTION

In the few years before the second world war, the Dutch finally began clearing up the long period of inactivity, especially when it came to the defences of the Netherlands East Indies. The defence of this colony was based on the fact that Java would be the centre of it, comparable to Singapore in Malaya. Taking the weakness of the Navy, Army and Airforce in consideration, it was not unthinkable that the waters north of Java would be controlled by an invader. Now a fundamental problem comes to light. The only two ports capable of dealing with the immense amounts of supplies and warmaterials, Batavia (Tandjong Priok) and Soerabaja, were located on the northern shore. In case of an enemy controlling the Javasea, the defenders of Java could not be supplied with the materials vital for their survival. This problem was recognized in 1940 when a start was made with the improvement of the defences in the archipelago. One of the measures taken was that Tjilatjap, the only port of size on the southern coast was to be made suitable of handling a large amount of goods.

TJILATJAP

The port itself was the only one of importance on the southern coast, and therefore very vulnerable. But before it would be capable of handling this task, there was a lot of work to be done. The port itself was in fact not a good "natural" harbor. The entrance was very narrow and tortuous, with shallows, rocks and currents. The port was capable of handling ships with a maximum draught of a little less than 30 feet. There were only four piers suitable for larger ships, and only one usable for tankers (owned by BPM). The defence against ships consisted of a fortress housing three 75 mm and two 150 mm guns, protection against aircraft was virtually non-existent.

PREPARATION

After May 1940, the civil and military organizations had the impossible task of making the NEI ready for war, but the task was even more difficult because the motherland had become unreachable. The NEI, not having an industry of any importance itself, was forced to use whatever was available. Nevertheless, most alterations were completed before the Japanese attack on Pearl Harbor in December 1941, mostly as a result of hard work by the Staatsmobilisatie-raad. This board was erected in 1940 to combine the efforts of the military and civil organizations, in order to improve the defences. And it did quite a good job during the early war years, as it managed to successfully overcome countless problems.

The alterations of the port itself included both strenghtening the defences as making the port suitable for handling about 250.000 tons of cargo each month. The latter was in fact the most difficult and costly job, as it included deepening the entrance by one metre and the addition of new facilities. Navigation lights were placed along the entrance, a dozen mooring- buoys were laid in the port near the island Noesa Kambang and new piers with electric cranes were built for unloading the ships. These alterations ofcourse meant that the population increased considerably, and large numbers of dockworkers (and their families) had be accommodated. For them, new barracks, hospitals and cantines were built. Besides them, new pilots to guide the ships through the entrance were found, specially trained and accommodated.

But, in spite of the enormous efforts put into the task, there were still some evident shortcomings. For example, the new piers were too short to handle all the ships at once, so the cargo had to be brought ashore by lighters ( 100 of which were routed to Tjilatjap in 1941 ), and the mooringbuoys used to keep the ships in place were too lightly built. Their mooringwires were expected to snap easily, causing large ships to go adrift.

But the main problems was the fact that the combined organizations didn't get the time to increase the transportcapacity of the railway from and to Tjilatjap. The Staats- mobilisatieraad estimated that about 8000 tons of goods were to be delivered inland, all of which had to be transported over a single railway. This created the danger of empty wagons going to Tjilatjap blocking the way for loaded wagons going inland, which happened quite frequently.

THE WAR

Despite all these disadvantages, Tjilatjap appeared to have functioned properly, supplying the defenders of Java with equipment and stores even after Batavia and Sourabaja had become unreachable to anything except submarines. Last moment improvements were the arrival of an 8000-ton drydock of the Drydock Co. Tandjong Priok in mid December, and the arrival of the Royal Netherlands Navy repair ship Barentsz in early January 1942.

Unfortunately, the port itself was only lightly protected against attacks from the sea and air, and it is surprising that the first air attack occured as late as March 5 1942, only a few days before the surrender of the Allied forces on Java. This was in fact not an indication the Japanese underestimated the value of Tjilatjap. They judged the fleettrain from and towards this port valuable enough to deploy a large squadron, the bulk of which were six carriers and four battleships, south of Java. By this time ( in late February ), the situation in the NEI had worsened dramatically, and preparations were made to evacuate most personnel. When the evacuation ships started leaving the port, most of them met their doom. Torpedoed or shelled, and packed with evacuees, many went down with heavy loss of life. The exact toll is unknown, but one can say with certainty that many hundreds of people lost their lives in this final stage...

Sources:
L.L. von Münching "De Nederlandse koopvaardijvloot in de Tweede Wereldoorlog"
Unpublished manuscript by Tom Womack
L. de Jong "Het koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog Volume 11"

Tuesday, September 12, 2006

Cilacap and the recent tsunami


This picture tells us why Cilacap was not destroyed by Tsunami. Nusa Kambangan island saves Cilacap from any huge waves from Indian Ocean. Do you still think that the mining activity for cement industry in Nusa Kambangan island is a correct decision ?

Saturday, September 09, 2006

La REPA

Ini adalah sebuah klub atau katakanlah kelompok anak - anak muda yang mempunyai kepedulian akan dirinya dan lingkungan. Diawali dengan kegelisahan akan hakekat pembentukan diri lahirlah klub ini. Tahun 1979 lahirlah sebuah klub lingkungan dan cinta akan naturalism dari tangan - tangan anak - anak kelas 1 SMA Negeri 1 Cilacap. Organisasi lahir tidak harus menjadi tujuan itu sendiri tapi lebih kearah cita - cita menyemangati diri sendiri untuk selalu tabah, ulet, bersolidaritas tinggi dan sambil berharap untuk selalu bisa berguna bagi orang lain. Dengan melalui jalannya sendiri terbentuk La REPA. Sebuah wadah sederhana dengan menyenangi alam.

Tahun 1979 adalah awal yang indah dari organisasi ini. Teman - teman kompak, senasib dan sepenanggungan sebutlah Ambar Pramono, Widarso, Budi Astono, Sukendro, Fredrik, Aris Wibowo, Aris wahono, Sherly Sisca, Ninik, Ani, Adjie, Setyadi, Sukamto, Agus Kustantio, Anggraini, Angriono dan masih banyak lagi yang akan aku ceritakan pada artikel berikutnya. Kelompok ini bagiku berhasil menembus kebuntuan dan menciptakan alternatif kegiatan yang positif. Kelompok ini kemudian menyusuri pantai - pantai di Cilacap, muara Sungai Serayu, mendayung di sela - sela hutan Bakau Segara anakan, hutan - hutan disekitar wilayah kabupaten Cilacap. Tidak hanya itu Gunung Slametpun puluhan kali disambangi. Lalu gunung - gunung di Jawapun dikenali dan menjadi wadah pembinaan diri.

Bapak Sumitro ( almarhum ), kepala sekolah SMAN 1 pada saat itu mungkin yang mewakili keresahan orang tua akan kegiatan ini. Aku memandang itu hanyalah wakil dari kecemasan orang tua siswa. Dan itu wajar karena kegiatan ini bila tidak cermat dan penuh perhitungan memang mempunyai kandungan resiko yang tinggi.

Minggu lalu, ketika organisasi - organisasi sejenis telah kehilangan daya juangnya aku diundang oleh rekan -rekan di Cilacap untuk datang pada acara pelantikan anggota baru perkumpulan. Termasuk mas Salman Capati ikut mengundangku. Aku senang dan bangga ternyata 'dia' masih hidup. Hidup La REPA !
Pada waktunya aku akan datang untukmu.

Tuesday, September 05, 2006

Cilacap


Cilacap is a city with beatiful beach and sea in Central Java, Indonesia. The old city is located at a cape, Teluk Penyu beach at the eastern part, Nusa Kambangan strait at south and Segara Anakan sea at the west side. The city has population more and less 500,000 peoples who has many economic activities such as fishery, plantation etc. There are many points of interest in the area i.e Teluk Penyu black sandy beach, sinking fortress, hilly Nusa Kambangan Island with white sandy beach and caves, traditional fish market, kampung laut ( village on sea ) and beautiful mangrove forest.

Cilacap is close to Pangandaran beach, West java region. Visitor can link the trip to Pangandaran beach by boat or ferry. Ferryboat departs daily from Lomanis pier to Karang Pucung village. The boat cruises along Segara Anakan sea, mangrove forest and Citandui River. Karang Pucung village is near by Pangandaran Beach.

How to reach Cilacap ?
From Jakarta the capital of Indonesia visitor can take a regular flight at Halim Perdakusumah airport Jakarta to Cilacap Tunggul Wulung Airport or enjoy train from Gambir railway station. From Yogyakarta visitor is recommended to use train, public bus or rental minicab from tour service. Cilacap is about 400 km from Jakarta and 200 km from Yogyakarta.

Monday, September 04, 2006

Teluk Penyu The gulf of Turtles


Teluk Penyu is a name of beautiful beach lies along eastern side of Cilacap city in Central java, Indonesia. Local people also call this beach 'KISIK'. Teluk Penyu is an Indonesia language means The Gulf of Turtles. The beach has medium waves and beautiful sunrise panorama. Naturally the arch of the gulf is formed by the existence of Nusakambangan Island which is located at the southern end of the gulf. The island protects Cilacap city from sea wave erotion. Without the existence of this island, Cilacap city will directly be hit by continuous high waves from Indian Ocean and there is no history about the city and the gulf.

Many colourfull traditional fishing ships park along the coastal area and restorants providing fresh sea food menu. So don't miss this beach when you visit Central Java and Yogyakarta.